Kamis, 10 Desember 2015

tugas mata kuliah pancasila

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA


Makalah ini disusun guna memenuhi mata kuliah Pancasila


Dosen pengampun: H.Farid Wajdim, M.H


Disusun Oleh : Aliya Izet Begovic Yahya
NIM : 123221022


FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SURAKARTA
2012
I.  PENDAHULUAN
       Sebagaimana telah kita ketahui, Al Quran adalah sumber perundangan pertama, diikuti oleh As Sunnah (Al hadis). Sehubung dengan itu, Ijma’ ulama’ dan Al Qiyas juga diterima sebagai sumber perundangan yang tidak disepakati. Disamping itu, terdapat beberapa sumber lain yang bersifat dalil zanni. Diantaranya adalah kaedah istihsan. Ulama’ berselisih pendapat dengan ta’rifan istihsan ini yaitu:
1)           Al Hilwani dan Al Hanafi mengatakan istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.
2)           Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi Al Hanafi pula, ia merupakan penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yng sama disebabkan alas an yang lebih kukuh.
3)           Jumhur ulama’ Usul menyatakan istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian)
A. Definisi Istihsan
       Secara bahasa Ishtisan berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
       Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
       Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.


       Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi Istihsan:
  1. Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya. (Abu Zahroh)
  2. Meninggalkan/ mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya. (Jasim Muhalhil)
  3. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh. (Al Fairuz Abadi)
  4. Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama. (Al Jayzani)
  5. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya. (Al Qorofi)
  6. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. (Ibnul Arobi)
  7. Pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. (Imam Syafii)
       Dari beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam mendefinikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti hubungan istihsan dengan qiyas. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut ulama ushul fiqh, Istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hokum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
B. Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam
       Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’I.                       Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
  1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain:
  • Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang artinya ”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
  • Sabda Rasul saw: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah.”
  • Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan. Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
  • Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
  • Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam Annisa ayat 59: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
  • Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya dan contoh lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.
  • Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus.
  • Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias.
       Namun demikian, sesungguhnya antara dua kubu tersebut di atas tidak ada perbedaan yang mendasar. Karena Abu Hanifah yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum dalam artian mendahulukan nash atas qiyas. Bahkan beliau juga menolak penggunaan istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan akal dan mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas Zufar (salah seorang muridnya). Karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harom. Dengan kata lain tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum berpendapat hanya berdasarkan akal semata, semua memiliki sandaran.
       Begitu juga Imam Syafii, beliau menolak istihsan semata-mata berdasarkan akal. Namun apabila tidak semata-mata karena akal, beliau dapat menerimanya bahkan beliau menggunakannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Imam Syafii sangat menolak Istihsan namun pada beberapa kasus beliau menggunakan Istihsan. Diantaranya beliau mengganggap baik, bahwa mut’ah bagi orang kaya adalah seorang pembantu, orang miskin muqniah, sedangkan bagi orang yang sedang (tidak kaya juga tidak miskin) 30 dirham”. Begitu pula dengan Imam Ahmad yang kadang menolak istihsan, juga menggunakan Istihsan. Beliau berkata: “Aku menganggap baik untuk bertayamum setiap kali sholat. Padahal secara qiyas tayamum sama dengan berwudlu.
C.Dasar-dasar Istihsan
Dasar Istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis rosullah SAW antara lain :
a). dasarnya dalam Al Qur’an:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Az-Zumar: 18)
Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran Karena ia adalah yang paling baik.
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: “Dan berjihadlah engkau di jalan Allah (dalam agama)dengan jihad yang sebenar-banarnya.dia telah memilih engkau dan Dia sama sekali tidak menjadikankesempitan bagimudalam agama”. (QS:Al-Hajj: 78)
Dan hadits  nabi yang berbunyi:
Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)
Hadits Nabi saw:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.”
 Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Tujuan Istihsan:
1.       menguatkan qiyas khafy atau qiyas jaly dengan menggunakan dalil
2.       membuat pengecualian sebagian hokum kully dengan dalil yang menguatkan.


Contoh-contoh Istihsan:
  1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah.
  2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’—baik yang sharih maupun sukuti—terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.
  3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
  4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku—baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
5.       Pendapat kedua, Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.

Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1.          Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.


2.      Firman Allah:
     “Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul     serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya...” (al-Nisa’ : 59)
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.

3.      Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan dengan logikanya sendiri.
4.      Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah...’ ....”
5. Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar Istihsan adalah:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang melakukan Istihsan, maka ia telah membuat syariat (baru).” Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah.





Maslahah al mursalah atau istihlah
Maslahah Mursalah
  1. Pengertian Maslahah Mursalah
       Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   صَلَحَ يَصْلُحُ  menjadi  صُلْحًا  atauمَصْلَحَةً    yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  اَرْسَلَ يُرْسِلُ اِرْسَالاً- مُرْسَلٌ menjadiمُرْسَل  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
       Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.
       Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
1.     Macam-macam Maslahah Mursalah
      Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi diantaranya:
1.Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1.               Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2.      Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’,
3.      Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a.   Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
b.    Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
  1. Dari segi Kandungan Maslahah
    1. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti  untuk semua kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
    2. Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud)
      Pentingnya pembagian kedua  kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
  1. Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
    1. Maslahah al-Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
    2. Maslahah al-Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
       Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa al-Syalabi, dimaksudkan untuk memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
      Sesungguhnya masih ada pembagian maslahah yang dikemukakan para ahli ushul fiqih yakni dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, tapi ini akan diuraikan pada tingkatan maslahah, karena pembagian maslahah ini mewakili macam-macam kemaslahatan yang telah dijelaskan tadi.
  1. 3. Tingkatan-tingkatan Maslahah Mursalah
      Para ahli Ushul sepakat bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara 5 hal yakni: (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3)memelihara akal, (4) memeliharar keturunanan, dan (5) memelihara harta. Sementara Hamka Haq dalam bukunya “Falsafat Ushul Fiqih” mengemukakan bahwa terdapat 6 aspek kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat diantaranya, (1) memelihara agama, (2) memelihara jamaah, (3) memelihara jiwa, (4) memelihara akal, (5) memelihara keturunan dan (6) memelihara harta benda. Aspek ini diurut berdasarkan prioritas urgensinya. Adapun mengenai kemaslahatan setiap aspek tersebut dibedakan dalam tiga tingkatan yakni:


·         Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
      Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun  duniawi.
·         Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
      Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
·         c. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
      Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
      Seperti telah dikemukakan, masing-masing dari enam perkara yang telah disebutkan sebagai tujuan pokok syariat pada asasnya dapat dilihat dari tiga sisi tersebut. Misalnya dalam aspek pemeliharaan agama, maka yang menjadi dharuriyah adalah aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa aqidah yang benar maka agama tidak mungkin tumbuh dan berkembang, sebab tidak ada sarana sekali unsur agama yang dapat dikabulkan oleh Allah SWT tanpa aqidah tauhid. Sementara itu, guna memudahkan manusia menyalurkan naluri tauhidnya, maka diadakanlah oleh syariat sejumlah praktek ibadah ritual. Dalam ibadah itulah setiap manusia diharapkan akan semakin menghayati amal tauhidnya kepada Tuhan. Karena itu, jika tauhid diwajibkan maka dengan sendirinya ibadah yang mengatur kepada memperkokoh tauhid itupun turut serta situasi lainnya, ibadah seringkali dibolehkan bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan. Lihat saja, mengapa seorang wanita haid dilarang bershalat dan berpuasa? Mengapa shalat dhuhur dapat digabung atau dikurangi rakaatnya dalam jama’ qashar. Semua itu disebabkan karena ibadah itu sangat relatif, artinya sangat terkait dengan tempat, waktu dan situasi. Dan sebagai pelengkap atau tahsisninya menyangkut agama ialah segala hal yang menjadi penunjang terlaksananya ibadah dan lebih menambah nikamatnya ibadah itu, misalnya thaharah.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak  berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang  sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan. Sementara itu,  memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.
      Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah, karena  hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang  mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan  terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.
      Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori  maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah
III.  KESIMPULAN
  1. Dari segi bahasa bermakna memandang baik sesuatu atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. (Az-Zumar : 17)Istihsan dari segi istilah menurut ahli hukum  iaitu:menggunakan  ijtihad dan segala buah fikiran dalam menentukan sesuatu hukum berdasarkan syara’.
  2. Dari apa yang dikemukakan diatas maka saya sebagai penulis mengambil kesimpulan bahwa  Kita tidak boleh mengatakan bahwa Abu Hanifah, Malik, dan sahabat-sahabat beristihsan tanpa menggunakan dalil-dalil yang syara’, tetapi sebenarnya mereka tidak menerangkan dalil-dalil yang telah mereka maksudkan, dan apa yang sebenarnya mereka kehendaki dengan pendapat itu. Hal ini tidaklah begitu mengherankan, karena masa itu belum lagi terjadi masa pentakrifan istilah-istilah baru. Masa itu adalah masa ijtihad dan mereka itu diakui oleh masyarakat sebagai ahli-ahli ijtihad. Imam Syafie menyerang dengan amat tajam bila beliau mendengar pengikut-pengikut Imam Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika berdiskusi dengan beliau tanpa menerangkan apa yang dimaksudkan dengan istilah itu.. Apabila Imam Syafie bertanya kepada mereka apa hakikat istihsan, mereka tidak dapat menjawabnya. Imam Syafie membantah orang-orang yang sering  menggunakan kata-kata ijma untuk dijadikan dalil mereka tanpa mereka menyebut dasar pegangan mereka itu. Pendapat-pendapat Imam Syafie, baik dalam Ar Risalah mahupun Al Umm tegas mengatakan bahwa istihsan tanpa dalil tidak dapat diterima bahkan haram dilakukan.
  3. Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   صَلَحَيَصْلُحُ  menjadi  صُلْحًا  atauمَصْلَحَةً    yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
  4. Maslahah mursalah sebagai sumber hukum memiliki tiga tingkatan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar